Kalian adalah neraka. Simpulan dari
apa yang dikatakan Jean-Paul Sartre,
bahwa orang lain adalah neraka. Saya berpikir jauh mengenai apa yang dialami
oleh filsuf eksistensialis ini semasa hidupnya sebelum mencetuskan pemikiran
itu. Jauh kemungkinan bahwa pemikiran itu muncul dari sedikit pergaulannya
bersama segelintir orang. Lantas, apa dia seorang yang “rusak” hingga “dirusak”
oleh yang segelintir itu—mengingat jumlah penghuni bumi? Sekali lagi, saya
hanya beradu pikir tanpa menelisik lebih dalam tentang si individualis ini.
Lalu, setelah hampir seabad dari
pelanglangbuanaannya, saya tumbuh dengan jumlah penghuni bumi yang jauh lebih
banyak daripada pada masanya. Jika benar apa yang dicetuskannya, tentu neraka
semakin banyak bagi setiap individu saat ini.
Kebebasan merupakan sesuatu yang
mutlak bagi setiap individu agar eksistensinya tak terusik. Sartre menuntut
kebebasan itu dalam batasan kebebasan individu yang lain. Hal ini menunjukkan
bahwa kebutuhan akan orang lain tetap menjadi landasan bagi kebebasan individu.
Apakah ini bukan suatu bentuk saling ketergantungan—membutuhkan? Jika demikian,
diri sendiri belum tentu dapat dikatakan sorga, selama orang lain tak menemukan
“sorga”-nya.
Semua yang bertalian tentu harus
dibahas seutuhnya biar tuntas. Kendatipun demikian, tak apalah kali ini saya
mengemukakan keegoisan dengan hanya mengambil sepenggal (meskipun potensi
kesalahan dalam memahami sangat besar). Pada akhirnya, saya hanya melirik
fragmen “orang lain adalah neraka”.
Ketika terbaca “orang lain”, adakah
itu perlu diberi suatu batasan? Bukankah selalu ada yang bilang “kita sudah
seperti saudara”? Atau saudara itu sendiri. Lantas, “orang lain”
yang mana yang dimaksudkan Sartre itu?
yang mana yang dimaksudkan Sartre itu?
Setiap orang pasti memiliki saudara,
jika tidak, tentu dia tak dapat dikatakan sebagai “orang” dengan mempertanyakan
asal-usulnya. Saya menambahkan sesuatu yang lahir dari kekonvensionalan di
sini, yakni makna “saudara” itu sendiri yang didasari kesepakatan orang yang
lahir lebih dulu.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “saudara” dapat diartikan dalam empat macam, seperti berikut ini.
“sau·da·ra n 1 orang yg seibu seayah (atau hanya seibu atau seayah saja); adik atau kakak; 2 orang yg bertalian keluarga; sanak: ia mempunyai banyak -- di sini, baik dr ibu maupun dr ayahnya; 3 orang yg segolongan (sepaham, seagama, sederajat, dsb); kawan; teman: dl mengerjakan tugas ini, kita akan dibantu oleh -- kita di kampung ini; 4 sapaan kpd orang yg diajak berbicara (pengganti orang kedua): coba -- pikirkan masak-masak; 5 ki segala sesuatu yg hampir serupa (sejenis dsb): serigala merupakan -- anjing; 6 ki tembuni: -- nya baru keluar, padahal bayinya telah lama lahir;”
Dari pengertian itu, tentu akan lahir sebuah antitesis dari pemikiran
sartre, setidaknya batasan dari apa yang dia sebut “orang lain”. Pengertian “saudara”
tersebut, bagi kebanyakan orang, telah memperkecil neraka yang disebut Sartre. Sebab,
saudara berdasarkan pengertian itu tentu tidak akan menjadi momok mengerikan,
layaknya neraka yang kerap dilontarkan dalam ritual keagamaan.
Namun, yang perlu diingat adalah
ketiadaan akan keabadian. Terdengar empiris memang. Namun hal itu yang selama ini
diperoleh dari pengalaman keinderaan. Kesilihbergantian antara datang dan
pergi.
Pembahasan ini saya persempit pada
kesalingtergantungan. Hal itu memberikan pengertian bahwa setiap orang itu
saling membutuhkan. Dari fragmen pemikiran Sartre, hal ini pun diperlukan, “kebebasan
individu yang didasari kebebasan individu lain”. Boleh saja kita tidak
membutuhkan orang lain. Justru di sini eksistensi mutlak telah di genggaman,
menurut saya. Semua itu pilihan. Kesadaran akan (berani) memilih menuntun kita
untuk sadar terhadap segala konsekuensi. Semua pilihan akan diikuti oleh
risiko, baik positif maupun negatif.
Kesadaran itu akan rumit bila muncul
bukan dari diri sendiri, melainkan dari orang lain. Lalu, kesiapan dalam
menerima risiko dari individu semacam ini jelas dipertanyakan. Menjadi tuan
atau budak dari diri sendiri?
Pengalaman “bersaudara” membuat
pilihan semakin terkungkung. Koridor akan muncul secara tidak sengaja bila
keragu-raguan selalu diumbar kepada “saudara”. Di situ, porsi kebebasan inividu
mulai tersandera. Sebab, pada akhirnya,
individu itu memilih atas kontaminasi orang lain.
Bila berhasil, risiko positif tentu
menjadi kenikmatan yang kasat mata. Namun kesadaran utang budi, bagi yang
merasakan, tentu menjadi beban yang akan tak terlunaskan. Lain halnya bila
risiko sebaliknya yang didapat. Di sini, menjauhkan umpat dari ujaran maupun
pikiran tentu sedapat mungkin dilakukan karena pertimbangan donor kontaminasi
di awal. Lalu, individu menjadi gundah sendiri.
Lain halnya jika pilihan bukan dari
hasil kontaminasi yang lain. Semua risiko menjadi tanggungan individu—tanpa utang
budi, tanpa umpat. Saya berpikir, mungkinkah ini yang menjadi pertimbangan
eksistensialis? Menyadari bahwa diri sendiri itu adalah “sorga” sehingga membiarkan
yang lain dengan “sorga”-nya. Dengan begitu, neraka adalah rahasia
masing-masing.
Dalamnya keterceburan dari
kontaminasi, kadang membuat individu sulit (kembali) mendapatkan dirinya. Kedalaman
itu seolah mengalir padanya secara berkesinambungan sehingga kegamangan selalu
membayangi langkahnya. Namun, saya yakin, tekad meraih kebebasan akan
memulangkan segala bentuk penjajahan.
Tak salah, perasaan semacam itu
muncul dari empiris setiap individu. Lalu, masing-masing berhak mengkaji,
membuka diri atas terpaan-terpaan pada dirinya. Setelah itu, pacu laju, di mana
individu kembali dihadapkan pada pilihan, bertahan atau melawan.
Pada akhirnya, semua ada segala dua.
Hanya “bermuka dua” yang harus dilabeli tanda tanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar