Rabu, 11 Juli 2012

Kegamangan Sang Eksistensialis

Kalian adalah neraka. Simpulan dari apa yang dikatakan Jean-Paul Sartre, bahwa orang lain adalah neraka. Saya berpikir jauh mengenai apa yang dialami oleh filsuf eksistensialis ini semasa hidupnya sebelum mencetuskan pemikiran itu. Jauh kemungkinan bahwa pemikiran itu muncul dari sedikit pergaulannya bersama segelintir orang. Lantas, apa dia seorang yang “rusak” hingga “dirusak” oleh yang segelintir itu—mengingat jumlah penghuni bumi? Sekali lagi, saya hanya beradu pikir tanpa menelisik lebih dalam tentang si individualis ini.
Lalu, setelah hampir seabad dari pelanglangbuanaannya, saya tumbuh dengan jumlah penghuni bumi yang jauh lebih banyak daripada pada masanya. Jika benar apa yang dicetuskannya, tentu neraka semakin banyak bagi setiap individu saat ini.
Kebebasan merupakan sesuatu yang mutlak bagi setiap individu agar eksistensinya tak terusik. Sartre menuntut kebebasan itu dalam batasan kebebasan individu yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan orang lain tetap menjadi landasan bagi kebebasan individu. Apakah ini bukan suatu bentuk saling ketergantungan—membutuhkan? Jika demikian, diri sendiri belum tentu dapat dikatakan sorga, selama orang lain tak menemukan “sorga”-nya.
Semua yang bertalian tentu harus dibahas seutuhnya biar tuntas. Kendatipun demikian, tak apalah kali ini saya mengemukakan keegoisan dengan hanya mengambil sepenggal (meskipun potensi kesalahan dalam memahami sangat besar). Pada akhirnya, saya hanya melirik fragmen “orang lain adalah neraka”.
Ketika terbaca “orang lain”, adakah itu perlu diberi suatu batasan? Bukankah selalu ada yang bilang “kita sudah seperti saudara”? Atau saudara itu sendiri. Lantas, “orang lain”

Kamis, 26 April 2012

Merindu Tradisi, Menikmati Bazarnya HK


Pasar Malam HK
Bazar, begitulah warga di sekitar Jalan HK Kampung Sengkol, satu komuni di daerah Tangerang Selatan, ini menyebut kegiatan rutin yang menjadi pelipur lara penat di hari kerja. Saya, lebih suka menyebutnya dengan Pasar Malam.  Bagaimana tidak, hal semacam ini sudah lama sekali tak saya alami, ketika malam mendadak diramaikan oleh pedagang dengan berbagai macam dagangan.
Pemandangan di daerah ini, saat ini, mungkin jauh berbeda dengan sekitar satu semester ke belakang. Dulu, melawati jalan ini, khususnya di malam minggu, kendaraan bisa melaju lancar tanpa hambatan. Namun, kini di jalan HK, sepanjang satu kilometernya, dimanfaatkan sebagai arena jual-beli. Sekali lagi, khusus malam minggu.
Tak sedikit macam dagangan yang dapat ditemui di Pasar Malam ini. Mulai dari pakaian sehari-hari, perlengkapan rumah tangga, sampai lauk-pauk segala. Dan tidak lupa, politik dagang harus pintar menempatkan diri, dengan menyediakan lahan bermain bagi kanak, meski hanya kekeretaapian yang berjalan melingkar dalam lintasan sekitar 10 meter, tentunya wahana ini sekaligus dapat dijadikan tempat penitipan anak sembari orang tuanya belanja atau hanya sekadar cakbur (acak-acak kabur). “Ini paling baru, dari sekitar abis Lebaran (2011),” kata seorang pengunjung pekan lalu.
Saya terkesima memasuki kawasan ini. Seolah menarik saya untuk kembali pada zaman kanak pula. Bahwa adanya keramaian seperti ini selalu membuat saya selalu ingin mendatanginya. Walaupun saya sangat yakin atau harus sangat berusaha keras membujuk orang tua agar mengajak saya ke tempat seperti ini. Satu lagi, walaupun saya yakin saya tidak akan membeli apa-apa atau mencicip wahana bermain apa pun, saya hanya senang keluar di malam hari, berada di keramaian, meski hanya berjalan berkeliling mecapai tungkai.
Antusias pangunjung muda atau remaja pun tak luput hadir di sini. Mereka tampak tak

Minggu, 15 Januari 2012

Kunjungan Orang Tua

  
Pulang
 
Aku pulang sekolah tidak seperti biasa. Awal waktu sudah di rumah. Dengan baju penuh noda. Lalu mama bertanya, kenapa sudah pulang saja? Guru ada rapat, jadi murid-murid boleh pulang, kujawab apa adanya.

Lalu mama marah seketika. Dan berangkat ke sekolah seketika. Sesampainya di sana, langsung masuk ke ruang rapat yang pintunya terbuka. Mama marah-marah sampai jadi pusat pandangan mata. Rapat kenapa jam belajar, katanya, kan setelah selesai belajar bisa.

Kemudian mama pulang. Dan lupa kalau aku belum makan siang. Untungnya di jalan sempat beli goreng pisang. Jadi, lumayan kenyang.

Keesokan harinya, aku pulang lagi tak seperti biasa. Seperti kemarin mama kembali bertanya. Guru rapat membahas kunjungan orang tua, jawabku apa adanya. Kunjungan orang tua mana, kapan, tanya mama. Kujawab dengan lirikan mata.

Jumat, 16 Desember 2011

Tegal Buleud: Tak Hanya Sekadar Tujuan

Tegal Bulued

Tegal Buleud, mungkin nama ini masih asing bagi para wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri, karena memang daerah ini belum menjadi daerah wisata yang terekspose secara luas. Akan tetapi, tidak berarti Tegal Buleud tidak layak menjadi suatu referensi tempat rekreasi sekadar pelepas penat dari kesibukan yang bikin mumat.

Tegal Buleud merupakan daerah pantai dengan pasirnya berwarna hitam. Takperlu jauh mendekat ke bibir pantai menikmati pantainya karena menyaksikan pemandangan hamparan pantai yang luas itu lebih indah dari atas bukit pasir yang berada sekitar 500 meter dari bibir pantai. Dari bukit pasir ini akan terlihat pemandangan pantai yang tampak samar karena terhalang embun biasan air laut. Dan tidak jarang dua sampai tiga ombak terlihat berkejaran bersamaan menuju bibir pantai.

Selatan Sukabumi. Siapa yang tidak mengenal daerah ini yang penuh dengan pantai? Tegal Buleud termasuk salah satu pantai dari kawasan ini. Perjalanan menuju Tegal Buleud dapat dilakukan melalui darat dengan kendaraan bermotor ataupun melalui sungai dengan menggunakan perahu. Tentunya untuk menambah kelengkapan rekreasi, perjalanan melalui sungai sangat menjadi rekomendasi.

Desa Bojong Gede menjadi sebuah desa perlintasan pertama menuju Tegal Buleud

Kamis, 01 Desember 2011

Melihat Diri


Saya berpikir keras saat ini, bagaimana (mungkin) ketika suatu niat, mental berbuah yang tidak diniatkan sama sekali bahkan amat tidak diinginkan. Pemberitaan tentang tewasnya seorang pemuda di sebuah café membuat konkret pada pikir. Tentu bukan ini yang diharapkan seseorang ketika mendatangi sebuah café. Lalu saya mencoba beradu pikir.
Munculnya tanya “bagaimana (mungkin)” tentu merupakan hal yang wajar sebagai sebuah ungkapan kepenasaranan. Kemudian ketika tanya itu tertuju pada yang bukan kuasa manusia, jawabnya tentu ‘mungkin saja’ karena apa yang tidak mungkin dari segala kehendak-Nya?
Di luar pembahasan tentang Yang Satu, saya tidak sedang mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam peristiwa ini. Akan tetapi, yang jelas –di sini--  ada korban dan pelaku. Setelahnya tinggal rasa percaya hendak dititipkan ke siapa. Toh, fakta telah menjadi sejarah dan kebenaran sejarah dipegang oleh pelaku sejarah. Dalam hal ini, kedua pihaklah yang berperan sehingga tidak tertutup kemungkinan sedikitnya ada dua versi cerita (fakta).
Pengakuan salah seorang dari kelompok salah satu pihak jelas mengatakan bahwa keduanya memang “minum”. Hal ini bisa saja mengasumsikan bahwa keduanya sedang tidak dalam kesadaran penuh. Ada kesadaran lain yang membuat mereka kehilangan sedikit “mereka”. Jika asumsi ini benar, yang berwenang tentu lebih tahu tentang penyelesaian.
Hanya saja, yang sangat disayangkan adalah suatu niat berubah menjadi akibat yang kelewat. Kemudian melahirkan banyak tanda tanya. Mengapa harus ke café? Mengapa harus “minum”? Mengapa begitu mudah emosi meluap yang merajuk kalap?
Terlepas dari proses adil-mengadili, evaluasi tentu bernilai tinggi dari peristiwa ini. Bahwa semua pihak harus ambil bagian agar tidak (akan dan/atau lagi) turut mengalami dituntut di sini. Ke sampingkan dulu tentang usia dengan pergaulannya, orang tua dengan pengawasannya, serta pemilik usaha dengan kebertanggungjawabannya. Bukankah lebih mulia untuk mengintrospeksi diri dan mampu belajar dari hal di sekitar?
Jangan biarkan esensi dari apa yang akan dilakukan bertransformasi menjadi eksekusi ngeri. Oleh karena itu, perlu dilihat ketepatan dalam hal tempat dan waktu, setidaknya salah satu. Semoga taklagi ada yang turut ini jejak.