Kamis, 26 April 2012

Merindu Tradisi, Menikmati Bazarnya HK


Pasar Malam HK
Bazar, begitulah warga di sekitar Jalan HK Kampung Sengkol, satu komuni di daerah Tangerang Selatan, ini menyebut kegiatan rutin yang menjadi pelipur lara penat di hari kerja. Saya, lebih suka menyebutnya dengan Pasar Malam.  Bagaimana tidak, hal semacam ini sudah lama sekali tak saya alami, ketika malam mendadak diramaikan oleh pedagang dengan berbagai macam dagangan.
Pemandangan di daerah ini, saat ini, mungkin jauh berbeda dengan sekitar satu semester ke belakang. Dulu, melawati jalan ini, khususnya di malam minggu, kendaraan bisa melaju lancar tanpa hambatan. Namun, kini di jalan HK, sepanjang satu kilometernya, dimanfaatkan sebagai arena jual-beli. Sekali lagi, khusus malam minggu.
Tak sedikit macam dagangan yang dapat ditemui di Pasar Malam ini. Mulai dari pakaian sehari-hari, perlengkapan rumah tangga, sampai lauk-pauk segala. Dan tidak lupa, politik dagang harus pintar menempatkan diri, dengan menyediakan lahan bermain bagi kanak, meski hanya kekeretaapian yang berjalan melingkar dalam lintasan sekitar 10 meter, tentunya wahana ini sekaligus dapat dijadikan tempat penitipan anak sembari orang tuanya belanja atau hanya sekadar cakbur (acak-acak kabur). “Ini paling baru, dari sekitar abis Lebaran (2011),” kata seorang pengunjung pekan lalu.
Saya terkesima memasuki kawasan ini. Seolah menarik saya untuk kembali pada zaman kanak pula. Bahwa adanya keramaian seperti ini selalu membuat saya selalu ingin mendatanginya. Walaupun saya sangat yakin atau harus sangat berusaha keras membujuk orang tua agar mengajak saya ke tempat seperti ini. Satu lagi, walaupun saya yakin saya tidak akan membeli apa-apa atau mencicip wahana bermain apa pun, saya hanya senang keluar di malam hari, berada di keramaian, meski hanya berjalan berkeliling mecapai tungkai.
Antusias pangunjung muda atau remaja pun tak luput hadir di sini. Mereka tampak tak
benar-benar ingin berbelanja atau sekadar menikmati semangkok baso. Mereka, laki dan perempuan, hanya memilih duduk-duduk hampir di ujung kawasan sembari ada yang bertengger di motor. Satu hal yang tak boleh dilupakan, “dadan” seolah menjadi keharusan di sini, layaknya tak pernah bertemu di hari biasa.
Jika dulu, dalam perhatian saya, si laki yang menginjak remaja akan memperlihatkan kejantanannya lewat kepulan asap rokok sembari sesekali celingak-celinguk jikalau ada kerabat yang memergoki, sementara si perempuan akan hanya menunduk malu-malu atau hanya bercerita dalam bisik dengan temannya, atau bahkan hanya sekadar formalitas menyimak lantunan gitar si laki lainnya yang berusaha mengalahkan suara musik di  Pasar Malam. Namun sekarang, si laki yang beranjak remaja itu tak lagi was-was mengepulkan asap rokoknya, seolah tak mengalami persembunyian terdahsyat dalam “belajar” merokok, sedangkan perempuan tampak santai berada di sana sambil sesekali namun intens melihat telepon seluler yang tak lepas dari genggaman.
Fenomena Pasar Malam ini tentu dapat saya simpulkan bahwa pasar modern bahkan mal sekali pun tidak melulu menjadi sasaran sebagian masyarakat. Dengan adanya Pasar Malam, mereka dapat menjangkaunya tanpa harus berdesak-desakan di angkutan. Selain itu, interaksi tawar-menawar jelas menjadi suatu skil yang berujung pada silaturahim.
Apa hal ini dapat mendongkrak perekonomian warga sekitar? “Mereka (para pedagang) bukan warga sini,” kata pengunjung tadi. Pernyataan itu, menurut saya, jelas memberikan jawaban “tidak” atas pertanyaan yang diajukan, terlepas dari apakah para pedagang merogoh kocek jika hendak menggelar dagangan. Lalu saya berpikir Pasar Malam ini malah meningkatkan perilaku konsumtif warga sekitar. Tapi tentu saja hal itu tak jadi soal bagi warga pengunjung. Mereka mungkin tak sekadar ingin berbelanja, bahkan sekadar minuman berasa dalam kemasan besar atau sabun mandi bermerek yang kadaluarsanya tinggal beberapa hari lagi, tapi melepas rindu pada suatu momen keakraban yang nyaris terlupakan.
Ini warisan budaya, pikir saya. Jika sengaja disediakan lahan untuk para pedagang sehingga bisa berdagang setiap hari, tentu akan beda cerita karena tak ada bedanya dengan pasar lainnya. Justru, Pasar Malam yang identik dengan pasar kaget lah yang menyelamatkan kejenuhan sebagian orang akan rutinitas keseharian.
Dari stasiun Serpong atau pasar Serpong, kawasan ini dapat dituju dengan menumpangi angkot jurusan Muncul atau yang searah. Dengan angkot, tentu lebih terasa bagaimana gregetnya Pasar Malam. Sekitar 15 menit perjalanan, tinggal bilang sama sang sopir “Turun di HK”, di kanan jalan ada persimpangan. Susuri dengan berjalan kaki sejauh 300 meter, kita sudah berada di dalam Bazarnya warga Serpong ini.
Konon, pasar kaget ini juga sudah mulai bermunculan kembali di beberapa daerah. Semakin kuat keyakinan saya bahwa ini bukan soal kekunoan, melainkan soal kerinduan akan tradisi lama. Bahwa kita lahir dari perkembangan budaya. Jadi, selamat menikmati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar