Pasar Malam HK |
Pemandangan di daerah ini, saat
ini, mungkin jauh berbeda dengan sekitar satu semester ke belakang. Dulu,
melawati jalan ini, khususnya di malam minggu, kendaraan bisa melaju lancar
tanpa hambatan. Namun, kini di jalan HK, sepanjang satu kilometernya,
dimanfaatkan sebagai arena jual-beli. Sekali lagi, khusus malam minggu.
Tak sedikit macam dagangan yang
dapat ditemui di Pasar Malam ini. Mulai dari pakaian sehari-hari, perlengkapan
rumah tangga, sampai lauk-pauk segala. Dan tidak lupa, politik dagang harus
pintar menempatkan diri, dengan menyediakan lahan bermain bagi kanak, meski
hanya kekeretaapian yang berjalan melingkar dalam lintasan sekitar 10 meter,
tentunya wahana ini sekaligus dapat dijadikan tempat penitipan anak sembari
orang tuanya belanja atau hanya sekadar cakbur (acak-acak kabur). “Ini paling
baru, dari sekitar abis Lebaran (2011),” kata seorang pengunjung pekan lalu.
Saya terkesima memasuki kawasan
ini. Seolah menarik saya untuk kembali pada zaman kanak pula. Bahwa adanya
keramaian seperti ini selalu membuat saya selalu ingin mendatanginya. Walaupun
saya sangat yakin atau harus sangat berusaha keras membujuk orang tua agar
mengajak saya ke tempat seperti ini. Satu lagi, walaupun saya yakin saya tidak
akan membeli apa-apa atau mencicip wahana bermain apa pun, saya hanya senang
keluar di malam hari, berada di keramaian, meski hanya berjalan berkeliling
mecapai tungkai.
Antusias pangunjung muda atau
remaja pun tak luput hadir di sini. Mereka tampak tak
benar-benar ingin berbelanja atau sekadar menikmati semangkok baso. Mereka, laki dan perempuan, hanya memilih duduk-duduk hampir di ujung kawasan sembari ada yang bertengger di motor. Satu hal yang tak boleh dilupakan, “dadan” seolah menjadi keharusan di sini, layaknya tak pernah bertemu di hari biasa.
benar-benar ingin berbelanja atau sekadar menikmati semangkok baso. Mereka, laki dan perempuan, hanya memilih duduk-duduk hampir di ujung kawasan sembari ada yang bertengger di motor. Satu hal yang tak boleh dilupakan, “dadan” seolah menjadi keharusan di sini, layaknya tak pernah bertemu di hari biasa.
Jika dulu, dalam perhatian saya,
si laki yang menginjak remaja akan memperlihatkan kejantanannya lewat kepulan
asap rokok sembari sesekali celingak-celinguk jikalau ada kerabat yang
memergoki, sementara si perempuan akan hanya menunduk malu-malu atau hanya
bercerita dalam bisik dengan temannya, atau bahkan hanya sekadar formalitas
menyimak lantunan gitar si laki lainnya yang berusaha mengalahkan suara musik
di Pasar Malam. Namun sekarang, si laki
yang beranjak remaja itu tak lagi was-was mengepulkan asap rokoknya, seolah tak
mengalami persembunyian terdahsyat dalam “belajar” merokok, sedangkan perempuan
tampak santai berada di sana sambil sesekali namun intens melihat telepon
seluler yang tak lepas dari genggaman.
Fenomena Pasar Malam ini tentu
dapat saya simpulkan bahwa pasar modern bahkan mal sekali pun tidak melulu
menjadi sasaran sebagian masyarakat. Dengan adanya Pasar Malam, mereka dapat
menjangkaunya tanpa harus berdesak-desakan di angkutan. Selain itu, interaksi
tawar-menawar jelas menjadi suatu skil yang berujung pada silaturahim.
Apa hal ini dapat mendongkrak
perekonomian warga sekitar? “Mereka (para pedagang) bukan warga sini,” kata
pengunjung tadi. Pernyataan itu, menurut saya, jelas memberikan jawaban “tidak”
atas pertanyaan yang diajukan, terlepas dari apakah para pedagang merogoh kocek
jika hendak menggelar dagangan. Lalu saya berpikir Pasar Malam ini malah
meningkatkan perilaku konsumtif warga sekitar. Tapi tentu saja hal itu tak jadi
soal bagi warga pengunjung. Mereka mungkin tak sekadar ingin berbelanja, bahkan
sekadar minuman berasa dalam kemasan besar atau sabun mandi bermerek yang
kadaluarsanya tinggal beberapa hari lagi, tapi melepas rindu pada suatu momen
keakraban yang nyaris terlupakan.
Ini warisan budaya, pikir saya.
Jika sengaja disediakan lahan untuk para pedagang sehingga bisa berdagang
setiap hari, tentu akan beda cerita karena tak ada bedanya dengan pasar lainnya.
Justru, Pasar Malam yang identik dengan pasar kaget lah yang menyelamatkan kejenuhan
sebagian orang akan rutinitas keseharian.
Dari stasiun Serpong atau pasar
Serpong, kawasan ini dapat dituju dengan menumpangi angkot jurusan Muncul atau
yang searah. Dengan angkot, tentu lebih terasa bagaimana gregetnya Pasar Malam.
Sekitar 15 menit perjalanan, tinggal bilang sama sang sopir “Turun di HK”, di
kanan jalan ada persimpangan. Susuri dengan berjalan kaki sejauh 300 meter,
kita sudah berada di dalam Bazarnya warga Serpong ini.
Konon, pasar kaget ini juga sudah
mulai bermunculan kembali di beberapa daerah. Semakin kuat keyakinan saya bahwa
ini bukan soal kekunoan, melainkan soal kerinduan akan tradisi lama. Bahwa kita
lahir dari perkembangan budaya. Jadi, selamat menikmati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar